Carut marut “wajah” dunia pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang saja terjadi. Carut marut tersebut terjadi dalam waktu yang cukup lama, dari waktu ke waktu. Bahkan yang lebih ekstrim ada pemahaman di masyarakat pendidikan Indonesia, ganti pemerintahan ganti kebijakan pendidikan. Seperti kebijakan penerapan kurikulum pendidikan, mulai dari kurikulum KTSP berganti kurikulum K13 dan entah kurikulum berikutnya apalagi, kebijakan ujian nasional yang menjadi “momok” bagi peserta didik kelas akhir pada tingkat pendidikan menengah, sampai masalah sumber daya manusia (pendidik). Masalah di atas layaknya tumpukan benang kusut, entah kapan dapat terurai dengan baik.
Rumitnya masalah pendidikan di Indonesia menjadi lebih berat lagi, saat datang cirus corona (corona 19). Pada masa pandemi covid 19, rutinitas kegiatan pendidikan di Indonesia benar-benar berubah 180 derajat. Pembelajaran di lembaga pendidikan yang pada awalnya menggunakan sistem tatap muka antara anak didik dan pendidik dalam kelas, dipaksa berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ), daring (dalam jaringan). Kondisi “shock” ini, suka atau tidak suka harus diterima dengan “lapang dada” oleh para pelaku pendidikan di Indonesia. Model pendidikan PJJ/daring ini memaksa anak didik, pendidik dan orang bersama-sama menggunakan tekonologi canggih, smartphone. Meskipun demikian, pada kenyataannya penggunaan smartphone justru menimbulkan masalah baru lagi, mulai tidak meratanya kekuatan jaringan provaider di tiap daerah di wilayah Indonesia, gagap teknologi baik dari anak didik, pendidik dan orang tua, serta biaya tambahan untuk membeli kuota internet.
Madura, salah satu wilayah kepulauan di Indonesia juga merasakan hal serupa. Jaringan kekuatan signal internet yang tidak merata di wilayah pulau Madura memaksa para pendidik untuk mengambil cara yang gampang dalam membelajarkan materi pembelajaran pada anak didik. “Rutinitas” kegiatan pendidik adalah memberikan tugas pembelajaran pada anak didik hampir di setiap mata pelajaran. Selanjutnya anak didik mengerjakan tugas tersebut berbantuan smartphone yang dimilikinya.
Kondisi masalah pendidikan di Madura di atas, dicoba diurai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Trunojoyo Madura dengan cara memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat, khususnya kepada para pendidik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan webinar tentang bagaimana pembelajaran aktif bagi pendidikan dengan memanfaatkan kaerifan lokal Madura yang sangat beragam dan tidak kalah dari daerah lain diluar Madura.
Pemateri dalam webinar disampaikan oleh bapak Sulaiman, yang saat ini sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura dan bapak Wahid Khoirul Ikhwan, sekarang menjabat Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura. Bapak Sulaiman membawakan materi tentang kearifan lokal Madura sedangkan bapak Wahid membawakan materi pembelajaran akrif (active learning), demikian ungkap Muhammad Busyro karim, ketua pelaksana pengabdian.
Bapak Sulaiman membawakan materi tentang pengembangan pendidikan dan pembelajaran berbasis keunggulan lokal Madura. Pengembangan keunggulan dan potensi daerah harus diketahui oleh anak-anak didik, “jangan sampai asam di gunung anak-anak tahu tapi garam di laut di sekitar anak didik malah tidak tau” demikian beliau memulai pemaparannya. Beliau juga menjelaskan tentang apa saja potensi yang ada di Madura, diantaranya; sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), geografis, historis dan budaya. Beliau mengutip dari Macartan Humphreys, bahwa Indonesia sebagai negara gagal dalam mengambil manfaat dari berkah kekayaan alam. Sebaliknya negara-negara miskin SDA memiliki tingkat kesejahteraan penduduk lebih baik dan perekonomiannya stabil serta berkelanjutan, seperti negara tetangga Singapore yang sedikit sekali memiliki sumber daya alam. Indonesia termasuk Madura memiliki SDA yang sangat melimpah, kata Koes plus, kolamnya berisi susu dan jika tongkat dilempar merubah menjadi tanaman. “Sehingga perlu pemikiran harus ada greget kita sebagai pendidik untuk menyadarkan ini dan inilah kesempatan kita untuk memberikan pembelajaran yang baik terkait dengan sistem pendidikan kita”, demikian pesannya.
Selain itu Bapak Sulaiman juga menjelaskan bahwasanya masyarakat Madura (biasanya) hanya sekolah hingga SD kemudian mereka menlanjutkan ke pondok pesantren, mereka lebih senang untuk belajar agama dari pada pengetahuan umum. “apakah inimenjadi persoalan?? Satu sisi menjadi persoalan, satu sisi tidak.kenapa?? kalau hampir semua anak masuk ke pesantren, bukan berarti tidak baik, karena dalam pembelajaran harus ada keseimbangan (balance). Sehingga anak-anak ditemukan dulu bakat dan minatnya di SD (sekolah dasar). Jika anak-anak berminat dan ingin mendalami betul tentag agama, maka anak diarahkan ke pondok pesantren. Tapi kalau anak kuat di ilmu pengetahunnya, kuat di bidang ipteknya, maka diarahkan ke SMP atau SMA. Sebaliknya kalau dia kuat dimotoriknya, kuat psikootornya, kuat di keterampilannya, maka anak diarahkan ke SMK”.
Sementara bapak Wahid menjelaskan kalau anak malas belajar di kelas (secara tatap muka, maka di masa new normal (tatanan baru) anak akan lebih malas lagi. Pada masa pandemi corona 19 ternyata guru lebih banyak memberikan tugas pada anak didik. Anak tiap hari beergelut dengan tugas. Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi anak dalam proses pembelajaran di rumah. Menurutnya pada saat ini untuk mengurai masalah pemebelajaran saat pandemi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat membawa paradigma baru dalam pendidikan dalam berbagai aspek. Melalui pemanfatan TIK akan membawa model pembelajaran tradisional yang masih mengandalkan guru sebagai sumber utama dari proses pembelajaran, berubah menjadi pembelajaran modern, dimana guru sebagai fasilitatorr dan anak didik sebagai sentral dalam pembelajaran. Dari sistem teacher centered berubah ke student centered. Melalui TIK pula akan lahir perubahan dari guru sebagai information delivery menuju information exchange. Demikian ujar pak Wahid.